ISTILAH Sisi Gelap Jurnalis (Dark Side of Journalist) antara lain dikemukakan Guru Besar Komunikasi Simon Fraser University (SFU) Kanada, Kathleen Cross.
Menurutnya, ketika para jurnalis (wartawan) masuk ke wilayah politik seperti itu, mereka bukan saja menggeser kariernya, tapi juga mengubah idealismenya.
“When journalists move into political communications, they’re not just shifting their careers, they’re shifting their ideals,” katanya seperti dikutip Belinda Alzner dalam tulisannya di The Canadian Journal Project, “When Journalist go to the dark side”.
Sejak Pilpres 2014 lalu, nyaris semua media melakukan “terjerumus” kepada politik praktis. Akibatnya, para wartawannya pun terjerumus kepada sisi gelap itu. Idealisme hangus. Berpihak pada fakta & kebenaran hanya ada di bangku kuliah, rumusan kode etik, dan buku-buku “teori” jurnalistik.
Media pro-Jokowi hanya mengangkat sisi baik Jokowi, mengabaikan dan menutupi sisi buruknya. Media pro-Prabowo juga demikian. Akibatnya, hak publik untuk tahu (the right to know) tidak terpenuhi.
Rupanya, sisi gelap jurnalistik itu terus berlanjut hingga pasca Pilpres. Sejumlah media masih saja menjadi alat propaganda ketimbang menjadi media independen yang berpihak pada publik dan kebenaran.
Inilah Sisi Gelap Jurnalistik, Ketika Media Menjadi Alat Propaganda! Kredibilitas media pun “makin terpuruk” akibat berubah fungsi jadi media propaganda.
Berita media berbeda dengan berita propaganda. Berita media (news) berdasarkan fakta. Propaganda mengabaikan fakta dan memanipulasinya. Dalam teori propaganda, kebenaran nomor sekian! Dalam dunia propaganda, bohong pun “halal”! (www.komunikasipraktis.com).*
Sumber Foto & Referensi Lain: War by media and the triumph of propaganda