Mengapa Hoax Muncul dan berkembang? Bagaimana Cara Mendeteksi dan Mengetahuinya?
POSTING ini merupakan penyebab munculnya hoax dan cara mengetahui hox ini lanjutan sekaligus melengkapi tulisan sebelumnya tentang pengertian dan asal-usul Hoax.
Menurut laporan Radio Australia, kebohongan di dunia maya itu sudah ditemukan sejak world wide web (www) diciptakan. Kini jejaring sosial atau media sosial, seperti Facebook dan Twitter, membuatnya semakin tersebar dengan pesat.
Peneliti dari Cambridge University, Matt Davis, yang pernah melakukan riset panjang di tahun 1970-an mengatakan, meski merupakan sebuah tipuan, dalam hoax terlihat ada ‘unsur kebenaran’.
Hoax dibuat seseorang atau kelompok dengan beragam tujuan, mulai dari sekadar main-main atau having fun, hingga tujuan ekonomi (penipuan), dan politik (progapanda/pembentukan opini publik) atau agitasi (hasutan).
“Pada saat yang sama, masyarakat kehilangan kepercayaan atas netralitas pers dan isi media mainstream, sehingga masyarakat mencari alternatif dari media sosial,” katanya.
Hoax Indikator Legitimasi Pemerintah Melemah
Penyebab lain maraknya hoax adalah karena pemerintah lamban merespons isu yang muncul. Menurut pengamat media dari Universitas Indonesia, Rocky Gerung, reaksi pemerintah menghadapi info palsu malah tidak menyentuh akar persoalan.
Menurutnya, hoax adalah gejala ada sesuatu yang bergejolak dalam opini publik yang tak mampu dikedalikan oleh pemerintah.
“Kalau legitimasi pemerintah kuat, orang tak bakal sebar kabar palsu. Tapi begitu legitimasi melemah, oposisi bakal mengekspoitasi bagustanan itu dengan memproduksi hoax. Berarti sinyal ‘hoax’ adalah krisis legitimasi di otoritas. Itu yang wajibnya diperbaiki,” katanya dikutip BBC Indonesia.
Ditegaskan, melawan hoax dengan mengontrol info memberi kesan bahwa negara menjadi totaliter dalam urusan opini publik. “Dan itu kurang baik, bahwa negara menjadi penjamin kebenaran.”
Mengapa? Sebab dengan cara teoritis, Rocky Gerung menonton pemerintah di tak sedikit negara doyan meperbuat rekayasa info untuk menjaga legitimasinya.
Cara Mendeteksi & Mengetahui Berita ‘Hoax’
Dikutip Liputan6 dari CNET, cara mendeteksi berita palsu (hoax) antara lain sebagai berikut:
1. Cross Check Judul Berita Provokatif
Ketika muncul sebuah berita sensasional atau “menggemparkan”, lakukan cek silang dengan mencari berita tersebut di media lain. Jika media lain tidak memberitakannya, maka berita tersebut menjadi “terduga” hoax.
Dari sisi bahasa, berita ‘hoax’ sering memakai huruf besar (kapital) dan beberapa tanda seru plus menggunakan kata-kata seperti ‘Terungkap’, ‘Wow’, ‘Bahaya’, ‘Awas’, ‘Darurat’, dan lain-lain.
Berita hoax seringkali bernada negatif dan TIDAK BERIMBANG, sepihak saja. Sedangkan jurnalistik mewajibkan media atau wartawan menulis berita secara berimbang atau meliput pihak-pihak yang diberitakan (covering both side).
2. Cek URL Situs Web
Ketika berita terduga hoax itu muncul di sebuah situs web (website), baik berupa blog maupun berdomain .com atau Top Level Domain (TLD) lainnya, cek alamat situs web berita itu atau URL-nya. Setelah muncul, pastikan situs tersebut memiliki identitas yang jelas atau baca juga About dan Disclaimernya.
3. Cek Foto / Cek Keaslian Foto
Hoax biasanya berupa foto. Cek foto tersebut dengan cara download atau screenshot foto itu, lalu buka Google Images di browser dan seret (drag) foto itu ke kolom pencarian Google Images tadi. Periksa hasilnya untuk mengetahui sumber dan caption asli dari foto tersebut.
Silakan Anda coba dengan mengecek gambar tentang proses pembuatan dan penyebarluasan Hoax berikut ini (Link Gambar).
Apakah Infografis tentang Hoax ini juga Hoax? Sumber Gambar: #turnbackhoax |
4. Cek Sumber/Ketahui Siapa Penulis Beritanya
Sama sepeti nomor dua, sangat penting mengetahui siapa penulis berita tersebut. Saat ini banyak sekali berita yang dibuat hanya agar menjadi viral di media sosial dan penulisnya kebanjiran uang karena websitenya yang dipasangi iklan tersebut dikunjungi oleh banyak orang.
Media mainstream yang menjadi corong penguasa atau kelompok kepentingan tertentu biasa melakukan Framing Berita.
Alih-alih untuk mengatasi hoax yang dianggap banyak diproduksi media abal-abal, penggunaan barcode justru seolah ingin menyingkirkan media alternatif yang selama ini menjadi pembanding media mainstream.
“Seolah barcode menyingkirkan media-media yang tidak dikenal. Kalau tidak dikenal berarti hoax. Padahal tidak begitu,” ujarnya dikutip Hidayatullah.
“Ketika kita mencari informasi yang valid berdasarkan jurnalisme objektif, terutama dari media mainstream, tetapi mereka justru terafiliasi ke politik maupun agenda setting,” paparnya. Wasalam. (www.komunikasipraktis.com).*