Dunia media di Indonesia dikuasai media abal-abal. Hanya 25% media yang dikelola secara profesional.
MAYORITAS media cetak dan media online (situs berita) di Indonesia saat ini tidak profesional alias media abal-abal. Lembaga penerbitan dan pemberitaannya tak memenuhi syarat sesuai standar perusahaan pers yang dikeluarkan Dewan Pers.
Menurut data Dewan Pers, seperti dikutip Tempo, sebanyak 75 persen dari dua ribuan media cetak di Indonesia belum berbadan hukum dan produk jurnalistiknya tak memenuhi prinsip jurnalistik. Hanya 567 media cetak yang dikategorikan media profesional.
Menurut Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etik Pers Dewan Pers, Imam Wahyudi, pertumbuhan perusahaan media tak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan perusahaan pers yang memadai.
“Sedangkan sebanyak 43.300 media siber, hanya 211 perusahaan yang dikategorikan perusahaan pers profesional,” katanya dalam diskusi literasi media bersama di Malang, Jumat 28 Juli 2016.
Untuk itu, Dewan Pers meminta lembaga publik untuk berhati-hati terhadap munculnya media abal-abal. Pelaku seolah berpraktik sebagai jurnalis profesional tetapi melanggar kode etik jurnalis.
“Bahkan ada yang memeras, itu pidana laporkan ke polisi,” kata Imam.
Media abal-abal muncul, katanya, karena perilaku koruptif di daerah. Media-media ini memanfaatkan itu untuk mengeruk keuntungan. Media abal-abal bermunculan terutama sejak pemerintah menggelontorkan dana bantuan operasional sekolah dan dana desa.
“Kepala Desa dan Kepala Sekolah menjadi kelompok rentan yang diperas pelaku media abal-abal,” ujarnya.
Tahun lalu, sebanyak 10 perusahaan pers yang dikeluarkan dari data perusahaan pers profesional karena berperilaku melanggar prinsip jurnalistik. Perusahaan tersebut beritikad buruk dan cenderung melakukan kejahatan seperti pemerasan.
Ada empat provinsi yang dinyatakan “daftar merah media abal-abal” karena banyak pengaduan pelanggaran dan sengketa pemberitaan, yakni Jakarta 394 pengaduan, Sumatera Utara 105, Jawa Barat 51, dan Jawa Timur 44 pengaduan.
Media Jurnalistik vs Media Propaganda
Data Dewan Pers di atas tidak mengherankan. Era internet membuka peluang bagi siapa saja untuk membuat media online atau situs.
Namun, dari ribuan situs berita yang ada, ternyata mayoritas “ilegal” dan dikelola secara tidak profesional, sebagaimana data Dewan Pers di atas.
Faktanya, kini lebih banyak media propaganda ketimbang media jurnalistik. Media propaganda adalah sarana mempengaruhi publik dan membangun opini, tanpa peduli kaidah jurnalistik seperti disiplin verifikasi, konfirmasi, dan berimbang (balance).
Media propaganda adalah media untuk mempengaruhi (to influence) dan tidak peduli dengan kebenaran berita atau kevalidan informasi.
Sebaliknya, media jurnalistik bertujuan menyebarluaskan informasi atau “memberi tahu” publik (to inform) dengan mengedepankan fakta, verifikasi, dan berimbang. Media jurnalistik alias media profesional menaati kaidah dan kode etik jurnalistik.
Pengelola media propaganda biasanya dikelola pihak tertentu dengan mengusung kepentingan politik tertentu. “Wartawannya” (dalam tanda kutip) hanya bisa “asal tulis” tanpa menguasai wawasan dan keterampilan jurnalistik yang memadai.
Berbeda dengan media jurnalistik profesional, wartawan media abal-abal dan media progapanda tidak memiliki Standar Kompetensi Wartawan sebagaimana dirumuskan Dewan Pers.
Beberapa media online bahkan berhasil menguasai halaman depan hasil pencarian Google akibat penulisan berita yang menggunakan trik SEO. Padahal, konten beritanya “ngawur” dan terkesan “asal tulis”.
Parahnya lagi, banyak pengguna media sosial yang “asal share” informasi yang dipublikasikan di media abal-abal. Padahal, informasi di media abal-abal tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Karakteristik Media Profesional dan Abal-Abal
Media profesional memiliki ciri utama berbadan hukum. Karena badan hukum ini, medianya jadi resmi (legal) sehingga media ini mencantumkan Alamat Jelas, Susunan Redaksi yang Jelas, dan naskah beritanya berkualitas karena ditulis oleh wartawan profesional dengan status yang jelas.
Media Abal-Abal sebaliknya, yaitu tidak berbadan hukum. Bisa saja ia mencantumkan alamat dan redaksi yang jelas, namun karena tidak berbadan hukum, maka menjadi media ilegal alias abal-abal dan pemberitaannya sulit dipertanggungjwabkan. Wasalam. (http://www.baticmedia.com).*
Baca Juga: Ciri-Ciri Wartawan Profesional dan Gadungan