Diabaikannya teori jurnalistik dalam penulisan berita, membuat masa depan ilmu jurnalistik dalam bahaya.
PADA akhir abad ke-19, seorang editor di harian Columbia Missouri Herald, Walter Williams Hall, berinisiatif membuka jurusan jurnalistik di Universitas Missouri. Namun, rencananya tidak berjalan mulus.
Pendirian jurusan jurnalistik masih banyak ditentang di universitas mana pun di Amerika Serikat. Alasannya, wartawan yang sukses dinilai terbentuk dari bakat dan pengalaman panjang, bukan dari ruangan-ruangan kuliah.
Senat Missouri tidak bersedia menggulirkan dana untuk penyusunan kurikulum jurnalistik. Universitas juga diarang menganugerahkan gelar sarjana di bidang
media massa.
Seperti dikutip detik.com, Williams dan seorang kurator universitas tersebut akhirnya berhasil meyakinkan para kurator dan senat Missouri tentang perlunya jurusan jurnalistik.
Sekolah jurnalistik pun dirikan pada 14 September 1908 dengan nama Missouri School of Journalism yang menjadi sekolah jurnalistik pertama di Amerika dan tertua di dunia. Kini Missouri School of Journalism dikenal juga dengan sebutan J-School.
Sejak itu jurusan jurnalistik bermunculan di kampus-kampus di Amerika dan seluruh dunia. Umumnya jurusan jurnalistik berada di Fakultas Ilmu
Komunikasi (Fikom) atau Fakultas Ilmu Sosial.
Tidak hanya jalur formal di kampus-kampus, pelatihan-pelatihan jurnalistik atau kursus kewartawanan pun marah di mana-mana.
Jurnalistik adalah ilmu, teknik, dan proses pengumpulan, penulisan, dan penyebarluasan berita melalui media massa. Secara praktis, jurnalistik bisa diartikan sebagai ilmu kewartawanan atau penulisan berita.
Dari pengalaman di lapangan, penelitian, kajian, riset, dan analisis, lahirlah konsep-kosep atau teori jurnalistik, mulai dari teknik reportase atau pengumpulan bahan berita, teknik wawancara, penulisan berita, penyuntingan naskah berita, hinga penyebarluasannya melalui media massa.
Seiring perkembangan media komunikasi, dengan hadirnya radio dan televisi, jurnalistik yang semula diarahkan untuk media cetak (suratkabar, majalah, tabloid), pun berkembang menjadi jurnalistik elektronik, yaitu proses pemberitaan di radio dan televisi.
Kehadiran internet juga berdampak besar bagi perkembangan jurnalistik. Setelah memasuki fase jurnalistik cetak dan elektronik (radio/TV), kini jurnalistik memasuki era multimedia yang memunculkan konsep jurnalistik online —online journalism, cyber journalism, digital journalism, website journalism, internet journalism.
Dari jurnalisme online, muncul pula “cabang baru” jurnalistik, termasuk jurnalisme media sosial (
social media journalism) dan jurnalisme mobil (
mobile journalism).
Sayangnya, era internet justru merusak sebagian tatatan ilmu jurnalistik yang dibangun sejak berabad silam. Media Online kini menulis berita terkesan “seenaknya”, asal jadi, dan membuat judul-judul berita sensasional dan “umpan klik” (clickbait) ala iklan.
Judul-judul seperti “Wow…”, “Heboh…”, “Sadis…”, “Ini Dia”, “Inilah…”, “Ini Komentar…” dan sebagainya adalah judul-judul berita yang bermunculan di era internet, sekaligus merusak kaidah-kaidah baku ilmu jurnalistik dalam penulisan judul.
Belum lagi isi beritanya yang banyak dicampuraduk dengan opini wartawan dan tidak akurat.
Jika wartawan atau media seenaknya saja menulis judul berita, demi mengejar “klik” dan “traffic”, maka masa depan ilmu jurnalistik dalam masalah besar! (http://baticmedia.blogspot.com).*