GUNA memerangi media penyebar HOAX atau pemberitaan palsu dan “informasi berbahaya”, Dewan Pers menyiapkan pembuatan barcode atau kode batang untuk media pers sebagai tanda media tersebut legal atau terdaftar di Dewan Pers, dan bukan media abal-abal.
Barcode (kode batang/kode palang) adalah suatu kumpulan data optik yang dibaca mesin. Kode batang ini mengumpulkan data dalam lebar (garis) dan spasi garis paralel dan dapat disebut sebagai kode batang atau simbologi linear atau 1D (1 dimensi). Tetapi juga memiliki bentuk persegi, titik, heksagon, dan bentuk geometri lainnya di dalam gambar yang disebut kode matriks atau simbologi 2D (2 dimensi). Selain tak ada garis, sistem 2D sering juga disebut sebagai kode batang. (Wikipedia).
Dilansir Antara, nantinya semua media –baik media online, cetak, maupun elektronik– yang mendapat barcode akan dikenali pembaca atau masyarakat sebagai media resmi, legal, bukan abal-abal, dan terverifikasi di Dewan Pers.
Dewan Pers hanya akan memberikan barcode kepada media cetak atau online yang tercatat sebagai perusahaan pers yang standardisasinya sesuai ketentuan yang ada di Dewan Pers.
Menurut anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, dalam siaran persnya, Jumat (6/1/2017), media pers adalah media yang memenuhi kode etik, asas pers sebagaimana ditetapkan dalam UU, serta memenuhi standar perusahaan pers.
Dengan demikian, bila nanti barcode itu diberlakukan, yang lain yang tidak terdaftar berarti bukan media pers. Bila merasa sebagai media pers, mereka harus mendaftar ke Dewan Pers untuk diverifikasi.
Dengan adanya barcode itu, profiling media itu akan bisa diakses dalam
database Dewan Pers dan bisa diketahui jati diri perusahaan pers,
alamat, penanggung jawab, redaksi, dan badan hukum.
Keberadaan
barcode itu juga akan memudahkan untuk memilah mana yang media pers dan
mana media yang bukan pers. Kalau barcode sudah diberlakukan, yang tidak
terdaftar di Dewan Pers, berarti bukan media pers.
Sebelumnya, di berbagai kesempatan, Dewan Pers menyebutkan ada tiga jenis media di Indonesia, yakni media profesional, media partisan, dan media abal-abal. Disebutkan, mayoritas media online di Indonesia masuk kategori abal-abal
Syarat Barcode: Aturan Dewan Pers
Sebuah media yang akan mendapatkan barcode adalah media yang terverifikasi Dewan Pers, yaitu lembaga pers yang memenuhi empat peraturan Dewan Pers, yaitu
- Standar perusahaan pers –berbadan hukum.
- Kode Etik Jurnalistik
- Standar Perlindungan Profesi Wartawan
- Standar Kompetensi Wartawan.
Media yang sudah terverifikasi atau mendapatkan barcode tidak akan begitu saja diblokir oleh pemerintah. Setiap akan melakukan blokir, Kemenkominfo lebih dulu konfirmasi ke Dewan Pers. Kalau media pers, tentu tidak akan diblokir, tapi diproses sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 1999.
“Intinya, kalau bukan media pers, berarti wilayahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan itu ada UU-nya sendiri, jadi silakan media nonpers diproses sesuai UU yang berlaku,” pungkas Imam Wahyudi.
Agar sebuah media lolos verifikasi Dewan Pers, media harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Berbadan hukum perseroan terbatas (PT)
- Terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
- Mempunyai modal
- Mampu menggaji wartawannya sesuai standar upah minimum provinsi sebanyak 13 kali setahun
- Mencantumkan nama penanggung jawab serta alamat redaksi yang jelas
- Pemimpinnya harus mempunyai kompetensi sebagai wartawan
- Bersedia meratifikasi pedoman-pedoman jurnalistik Dewan Pers.
“Yang kami lawan adalah media abal-abal, media (penyebar) hoax, dan media buzzer (agen media sosial dengan pengikut banyak untuk tujuan-tujuan tertentu), bukan media-media kecil yang tengah dirintis tetapi mau bekerja profesional sesuai kode etik jurnalistik. Media-media yang sedang dirintis silakan tetap mendaftarkan diri ke Dewan Pers melalui asosiasi-asosiasi jurnalis,” kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo (Stanley), Kamis (5/1/2017), seperti dikutip Kompas.
Menuruy Yosep, media yang belum terverifikasi Dewan Pers tidak otomatis dianggap sebagai media abal-abal, palsu, atau buzzer. Media-media yang belum terverifikasi bisa berkirim surat kepada Dewan Pers lewat asosiasi jurnalis, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan kesediaan melanjutkan proses pemenuhan syarat legal dan wajib taat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), serta mau meratifikasi pedoman-pedoman jurnalistik Dewan Pers.
“Bisa jadi, media-media kecil yang masih dirintis lebih baik (kualitasnya) daripada media-media yang terverifikasi tetapi produk jurnalistiknya masih acak-acakan,” ujarnya.
Bagaimana dengan Blog?
Blog buka media pers, meski sebuah media online atau situs berita bisa dibuat dengan platform blog —Blogger atau CMS WordPress.
Media-media atau situs-situs yang selama ini diblokir pemerintah, kebanyakan berplatform blogger atau bahkan berupa blog.
Bagi blogger yang ngeblog di Blogger, maka acuannya adalah peraturan Blogger, seperti Kebijakan Konten. Jadi, secara teknis, blogger berurusan dengan pemilik blogger, yakni Google.
Pelanggaran Kebijakan Konten akan disanksi oleh Google/Blogger. Pelanggaran terhadap UU ITE akan disanksi oleh pemerintah, termasuk pemblokiran.
Soal barcode, blogger bisa mendapatkannya dari Online Barcode, seperti ini:
Blog bukan urusan Dewan Pers karena blog tidak termasuk media pers atau media jurnalistik, meski kontennya bisa berupa karya jurnalistik atau produk pers.
Blog adalah situs pribadi (personal website) yang dikelola oleh individu, berisi pengalaman, keahlian, tips, dan lainnya sesuai dengan passion dan niche blog yang dipilih. Wasalam. (www.komunikasipraktis.com).*